Gerakan Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan dan Melatih Hidup Sederhana
Oleh H. Herry Zudianto
”Segosegawe” merupakan kependekan dari ”sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe”, hakekatnya merupakan gerakan untuk menggugah kembali dan membangkitkan nilai ”merasa membutuhkan” dari semua komponen masyarakat Kota Yogyakarta untuk menggunakan sepeda sebagai salah satu alternatif moda transportasi khususnya jarak dekat (3 km s/d 5 km). Dalam jangka pendek Program ”Segosegawe” diharapkan dapat membangkitkan kesadaran dan pemahaman masyarakat bahwa menggunakan sepeda sebagai alat transportasi alternatif jarak dekat dapat mengurangi polusi dalam rangka antisipasi pemanasan global. Dalam jangka panjang diharapkan gerakan ini akan berimplikasi pada penurunan penggunaan kendaraan bermotor sehingga mengurangi polusi, efisiensi energi, menuju kota yang lebih humanis, meningkatkan derajat kesehatan manusia maupun lingkungan dan sebagainya. Dari sisi implementasi kebijakan, target awal adalah mengajak warga masyarakat untuk mulai menyenangi menggunakan alat transportasi sepeda baik digunakan untuk sekolah, bekerja maupun kegiatan lainnya yang berjarak dekat.
”Segosegawe” juga merupakan gerakan untuk melatih diri bersikap sederhana khususnya bagi generasi muda. Sebuah sikap yang pada saat ini menjadi sesuatu yang langka. Untuk anak sekolah dengan penggunaan sepeda diharapkan akan membangkitkan semangat kesederhanaan, konsep percaya diri, serta menghargai orang lain dari sudut harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain diharapkan tumbuhnya penghormatan prestasi seseorang bukan pada aspek materi yang terlihat pada seseorang. Dalam pengamatan saya secara pribadi, sekarang ini banyak orang tua yang ingin memanjakan anaknya tidak dalam kerangka bagian dari pembentukan karakter jati diri yaitu anak yang mandiri, sederhana, hemat, tidak konsumtif, tidak mudah menyerah yang merupakan bagian dari nilai-nilai modal kesuksesan. Namun orangtua banyak berpikir dengan mencukupi kebutuhan materi maka si anak akan mencintai mereka. Tetapi tidak sadar bahwa hal tersebut justru bisa menjadikan anak kehilangan karakter diri. Sebagai contoh misalnya menurut saya sudah keterlaluan anak SMA dibelikan mobil pribadi termasuk untuk sekolah. Hal itu akan membius si anak seolah-olah keberhasilan orangtuanya identik dengan kesuksesan dirinya sehingga anak tidak terpacu untuk meraih prestasi lewat
usahanya sendiri. Anak SMP diberi motor pribadi, jelas tidak mungkin tidak melanggar hukum karena pasti belum dapat memiliki SIM sehingga tanpa sadar orang tua mulai mengajari anak untuk tidak taat hukum. Sementara anak SMA dibelikan motor boleh-boleh saja tetapi dengan catatan jangan seolah-olah menjadi motor pribadi sepenuhnya si anak tetapi hanya pinjam dari orangtua. Kalau ke sekolah dengan jarak lebih kurang 3 km jaraknya dari rumah, ya diwajibkan anak untuk bersepeda sebagai latihan membiasakan diri untuk kesederhanaan hidup sekaligus memahami hakekat arti kesederhanaan. Disamping memahamkan dari aspek amalan ajaran agama yaitu bagian dari amalan sodaqoh atau cinta kasih kepada alam dalam hal pengurangan polusi udara. Orangtua perlu menekankan tujuan utama ke sekolah adalah berlomba prestasi diri untuk menjadi manusia seutuhnya bukan berlomba penampilan diri. Akan sangat baik bila para pelajar juga mengendarai sepeda untuk pergi ke berbagai keperluan dalam jarak dekat. Apalagi pacaran juga mengendarai sepeda, kenapa tidak ? Dalam pelaksanaan program penanaman nilai atau menumbuhkan kesadaran nilai sego segawe tentunya banyak tantangan pro kontra yang muncul bahkan mulai dari sosialisasi hingga implementasinya dan juga disertai sikap pesimistis dari berbagai pihak. Saya menyadari gerakan penanaman nilai atau menumbuhkan kesadaran jauh lebih sulit dari penyediaan sarana prasarana, tetapi ini menjadi fondasi jika kita bicara sarana prasarana yang harus disediakan. Banyak sarpras dibangun tidak selalu optimal jika “nilai atau kesadaran” belum terbangun. Sebagai contoh, berapa banyak orang yang tidak mentaati rambu-rambu lalu lintas padahal sudah dipasang dengan jelas dan mudah dibaca. Gerakan bersepeda tantangannya akan sama dengan gerakan kebersihan, gerakan penghijauan yang pada awal-awal program tersebut dijalankan banyak pihak memandang tidak berguna mustahil sulit dan sebagainya, namun seiring waktu dengan intensitas penanaman nilai secara kontinyu dan berkelanjutan, masyarakat akhirnya sadar terhadap kebutuhan atas penghijauan dan kebersihan, yang memang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Untuk sarana prasarana kenyamanan dan keamanan bersepeda, Pemerintah Kota Yogyakarta pasti akan mengikuti seiring dengan berkembangnya nilai-nilai tersebut. Khusus anak sekolah yang bersepeda ke sekolah sudah dilindungi dengan santunan kecelakaan. Pada tahun 2009 ini telah direncanakan untuk penyediaan jalur khusus sepeda dilengkapi dengan rambu-rambu. Jalur khusus sepeda ini tidak harus melewati jalan protokol tapi justru lebih banyak menggunakan jalan-jalan kampung yang berhubungan
dengan jalan utama sehingga diharapkan dapat meningkatkan arus mobilitas lewat jalan kampung, sekaligus multiplier effect bagi peningkatan perekonomian atau tumbuhnya aktivitas ekonomi baru pada kampung-kampung. Program “segosegawe’ butuh dukungan apresiasi masyarakat luas pengguna jalan untuk lebih menghargai pengendara sepeda sebagai golongan pengendara yang harus diberi prioritas haknya setelah penyeberang jalan. Orang bersepeda harus dihormati sebagai bagian dari etika lalulintas modern dimana pengguna moda transportasi yang lebih lemah, kecil, lambat harus lebih dihormati. Orang bersepeda tidak identik dengan 'wong cilik, anak kuno'. Saat ini jika saya pergi kerja ke Kantor Walikota di Balaikota Timoho dari rumah pribadi di Golo yang berjarak sekitar 3,5 km (bahkan jika cuaca mendungpun) saya usahakan tiap hari bersepeda. Kadang-kadang saya menggunakan sepeda onthel, kadang menggunakan sepeda dengan dua tenaga yaitu sepeda listrik disamping bertenaga batery juga dapat dikayuh. Dari perjalanan saya bersepeda selama ini, saya merasakan bahwa budaya di masyarakat untuk berempati kepada yang lebih lemah tidak nampak dalam budaya berlalu lintas, dimana pengendara non sepeda sering atau mayoritas menyepelekan atau meremehkan pengendara sepeda. Pengendara sepeda dianggap masyarakat kelas dua dalam hak-haknya sebagai pengguna jalan. Bahkan saya pernah bersepeda berboncengan dengan istri pada hari minggu pagi, ditabrak oleh pengendara sepeda motor yang tidak memperhatikan atau mengabaikan sinyal saya bahwa saya akan membelok. Ironinya lagi pengendara sepeda motor tersebut adalah siswi SMP yang jelas-jelas belum mempunyai izin mengemudi. Mengamati dan merasakan sendiri hal demikian menimbulkan kesadaran dalam diri saya untuk lebih menghargai dan berempati terhadap pengendara sepeda. Dari sisi pengalaman spiritual saya lebih bisa bersyukur diberi rezeki lebih oleh Allah SWT sehingga dapat menikmati juga kendaraan lain non sepeda yang lebih cepat dan lebih nyaman. Mari kita jadikan kesadaran bersama bahwa gerakan ”Segosegawe” merupakan gerakan nilai-nilai bagaimana dengan bersepeda kita menjadi bagian dari manusia anggota planet Bumi dan hamba Tuhan yang taqwa yang sungguh-sungguh ingin mengurangi pemanasan global, polusi udara dan hemat pemakaian energi, upaya untuk membuat badan sehat dan bugar, mendidik generasi muda untuk menghargai dan mencintai kesederhanaan serta mewariskan lingkungan alam yang lebih baik kepada generasi selanjutnya.
”Segosegawe” juga merupakan gerakan untuk melatih diri bersikap sederhana khususnya bagi generasi muda. Sebuah sikap yang pada saat ini menjadi sesuatu yang langka. Untuk anak sekolah dengan penggunaan sepeda diharapkan akan membangkitkan semangat kesederhanaan, konsep percaya diri, serta menghargai orang lain dari sudut harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain diharapkan tumbuhnya penghormatan prestasi seseorang bukan pada aspek materi yang terlihat pada seseorang. Dalam pengamatan saya secara pribadi, sekarang ini banyak orang tua yang ingin memanjakan anaknya tidak dalam kerangka bagian dari pembentukan karakter jati diri yaitu anak yang mandiri, sederhana, hemat, tidak konsumtif, tidak mudah menyerah yang merupakan bagian dari nilai-nilai modal kesuksesan. Namun orangtua banyak berpikir dengan mencukupi kebutuhan materi maka si anak akan mencintai mereka. Tetapi tidak sadar bahwa hal tersebut justru bisa menjadikan anak kehilangan karakter diri. Sebagai contoh misalnya menurut saya sudah keterlaluan anak SMA dibelikan mobil pribadi termasuk untuk sekolah. Hal itu akan membius si anak seolah-olah keberhasilan orangtuanya identik dengan kesuksesan dirinya sehingga anak tidak terpacu untuk meraih prestasi lewat
usahanya sendiri. Anak SMP diberi motor pribadi, jelas tidak mungkin tidak melanggar hukum karena pasti belum dapat memiliki SIM sehingga tanpa sadar orang tua mulai mengajari anak untuk tidak taat hukum. Sementara anak SMA dibelikan motor boleh-boleh saja tetapi dengan catatan jangan seolah-olah menjadi motor pribadi sepenuhnya si anak tetapi hanya pinjam dari orangtua. Kalau ke sekolah dengan jarak lebih kurang 3 km jaraknya dari rumah, ya diwajibkan anak untuk bersepeda sebagai latihan membiasakan diri untuk kesederhanaan hidup sekaligus memahami hakekat arti kesederhanaan. Disamping memahamkan dari aspek amalan ajaran agama yaitu bagian dari amalan sodaqoh atau cinta kasih kepada alam dalam hal pengurangan polusi udara. Orangtua perlu menekankan tujuan utama ke sekolah adalah berlomba prestasi diri untuk menjadi manusia seutuhnya bukan berlomba penampilan diri. Akan sangat baik bila para pelajar juga mengendarai sepeda untuk pergi ke berbagai keperluan dalam jarak dekat. Apalagi pacaran juga mengendarai sepeda, kenapa tidak ? Dalam pelaksanaan program penanaman nilai atau menumbuhkan kesadaran nilai sego segawe tentunya banyak tantangan pro kontra yang muncul bahkan mulai dari sosialisasi hingga implementasinya dan juga disertai sikap pesimistis dari berbagai pihak. Saya menyadari gerakan penanaman nilai atau menumbuhkan kesadaran jauh lebih sulit dari penyediaan sarana prasarana, tetapi ini menjadi fondasi jika kita bicara sarana prasarana yang harus disediakan. Banyak sarpras dibangun tidak selalu optimal jika “nilai atau kesadaran” belum terbangun. Sebagai contoh, berapa banyak orang yang tidak mentaati rambu-rambu lalu lintas padahal sudah dipasang dengan jelas dan mudah dibaca. Gerakan bersepeda tantangannya akan sama dengan gerakan kebersihan, gerakan penghijauan yang pada awal-awal program tersebut dijalankan banyak pihak memandang tidak berguna mustahil sulit dan sebagainya, namun seiring waktu dengan intensitas penanaman nilai secara kontinyu dan berkelanjutan, masyarakat akhirnya sadar terhadap kebutuhan atas penghijauan dan kebersihan, yang memang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Untuk sarana prasarana kenyamanan dan keamanan bersepeda, Pemerintah Kota Yogyakarta pasti akan mengikuti seiring dengan berkembangnya nilai-nilai tersebut. Khusus anak sekolah yang bersepeda ke sekolah sudah dilindungi dengan santunan kecelakaan. Pada tahun 2009 ini telah direncanakan untuk penyediaan jalur khusus sepeda dilengkapi dengan rambu-rambu. Jalur khusus sepeda ini tidak harus melewati jalan protokol tapi justru lebih banyak menggunakan jalan-jalan kampung yang berhubungan
dengan jalan utama sehingga diharapkan dapat meningkatkan arus mobilitas lewat jalan kampung, sekaligus multiplier effect bagi peningkatan perekonomian atau tumbuhnya aktivitas ekonomi baru pada kampung-kampung. Program “segosegawe’ butuh dukungan apresiasi masyarakat luas pengguna jalan untuk lebih menghargai pengendara sepeda sebagai golongan pengendara yang harus diberi prioritas haknya setelah penyeberang jalan. Orang bersepeda harus dihormati sebagai bagian dari etika lalulintas modern dimana pengguna moda transportasi yang lebih lemah, kecil, lambat harus lebih dihormati. Orang bersepeda tidak identik dengan 'wong cilik, anak kuno'. Saat ini jika saya pergi kerja ke Kantor Walikota di Balaikota Timoho dari rumah pribadi di Golo yang berjarak sekitar 3,5 km (bahkan jika cuaca mendungpun) saya usahakan tiap hari bersepeda. Kadang-kadang saya menggunakan sepeda onthel, kadang menggunakan sepeda dengan dua tenaga yaitu sepeda listrik disamping bertenaga batery juga dapat dikayuh. Dari perjalanan saya bersepeda selama ini, saya merasakan bahwa budaya di masyarakat untuk berempati kepada yang lebih lemah tidak nampak dalam budaya berlalu lintas, dimana pengendara non sepeda sering atau mayoritas menyepelekan atau meremehkan pengendara sepeda. Pengendara sepeda dianggap masyarakat kelas dua dalam hak-haknya sebagai pengguna jalan. Bahkan saya pernah bersepeda berboncengan dengan istri pada hari minggu pagi, ditabrak oleh pengendara sepeda motor yang tidak memperhatikan atau mengabaikan sinyal saya bahwa saya akan membelok. Ironinya lagi pengendara sepeda motor tersebut adalah siswi SMP yang jelas-jelas belum mempunyai izin mengemudi. Mengamati dan merasakan sendiri hal demikian menimbulkan kesadaran dalam diri saya untuk lebih menghargai dan berempati terhadap pengendara sepeda. Dari sisi pengalaman spiritual saya lebih bisa bersyukur diberi rezeki lebih oleh Allah SWT sehingga dapat menikmati juga kendaraan lain non sepeda yang lebih cepat dan lebih nyaman. Mari kita jadikan kesadaran bersama bahwa gerakan ”Segosegawe” merupakan gerakan nilai-nilai bagaimana dengan bersepeda kita menjadi bagian dari manusia anggota planet Bumi dan hamba Tuhan yang taqwa yang sungguh-sungguh ingin mengurangi pemanasan global, polusi udara dan hemat pemakaian energi, upaya untuk membuat badan sehat dan bugar, mendidik generasi muda untuk menghargai dan mencintai kesederhanaan serta mewariskan lingkungan alam yang lebih baik kepada generasi selanjutnya.
Perlunya menegakkan nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan dari semua komponen masyarakat khususnya para pengambil kebijakan di berbagai instansi pemerintah, lembaga swasta, organisasi, kampu dan sebagainya. Dan tentu saja DPRD Kota Yogyakarta dan seluruh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta harus menjadi ”panutan” terdepan. Mari gerakan atau budaya bersepeda kita jadikan bagian keistimewaan dari Yogyakarta. Selain itu, dengan gerakan bersepeda kita tunjukkan bahwa bersepeda tidak identik dengan “wong cilik”. Justru menunjukkan orang yang bersepeda adalah orang yang gaul, modern, visioner yang berwawasan lingkungan tinggi. Semoga kita dapat menjadi contoh, pelopor dan motivator gerakan bersepeda untuk moda transportasi jarak dekat, sebagaimana cita-cita / harapan masyarakat Kota Yogyakarta yang telah dijadikan sebagai visi Kota Yogyakarta yaitu ; ”Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan berkualitas, pariwisata berbasis budaya dan pusat pelayanan jasa yang berwawasan lingkungan” seperti yang tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005 – 2025. Salam Jogja Salam Indonesia ........ Jaya !